Tuesday, January 21, 2014

You are my biggest dream

Semarang, 17 Januari 2013

No, you don’t understand– ”

I do, actually. Kamulah yang tidak pernah tahu arti cinta sebenarnya.”

“Aku tahu, kok! Berhentilah bersikap seakan kamu tahu semuanya! Ugghh.. kenapa kamu jadi menyebalkan seperti ini?!” teriakan putus asaku berhasil membuat perhatian orang – orang di dalam café yang sedang kami singgahi tertuju pada kami.

Lana hanya menggelengkan kepalanya. “Bukan aku yang menyebalkan. You’re just too stubborn. Aku berjanji akan sering mengirim e-mail, menelponmu lewat skype, atau sekedar chatting denganmu melalui facebook. Putus bukan berarti aku akan bersikap masa bodoh dan mengacuhkanmu. Bersikaplah dewasa, peri kecilku.”

Stop calling me that! Aku bukan peri kecilmu dan aku sudah dewasa! Umurku saja sudah sembilan belas tahun, kenapa kamu masih memanggilku seperti itu?!” amarahku semakin memuncak. Ingin rasanya aku menangis karena amarah yang aku tahan daritadi sudah mencapai puncaknya. “Kamu tidak punya hak untuk memanggilku seperti itu! Just.. stop, would you?” pintaku lemah.

Lelaki di depanku hanya diam membisu sementara orang – orang yang tadinya memperhatikan kami sudah mulai kembali ke aktivitasnya masing – masing. Hujan yang tak kunjung reda sejak kami masuk ke restoran ini seakan mengerti perasaanku. Tetes – tetes air hujan terus saja turun membasahi jalanan yang tadinya kering penuh debu.

Aku sudah mengenal Lana sejak masih duduk di bangku SD. Tingkahnya yang konyol serta pemikirannya yang cerdas benar – benar membuatku kagum. Dia memang lebih tua satu tahun dariku tetapi tingkat kedewasaannya seperti orang yang sudah berumur tiga puluh tahunan sedangkan aku masih sesekali bertingkah childish di depannya.

Waktu masih SD, kami sering sekali bermain bersama. Entah bermain di rumah pohon miliknya, mencuri rambutan Abah Salim, atau hanya sekedar bermalas – malasan di ayunan belakang rumahku. Dimana ada Lana maka bisa dipastikan ada aku di dekatnya. Begitu dekatnya kami hingga awal – awal SMP, aku sering disangka adik Lana. Aku yang memang satu tingkat di bawahnya harus rela melihat dia lulus terlebih dahulu sebelum akhirnya kembali satu sekolah dengannya di masa SMA.

Pada awalnya, aku memang hanya menganggap dia sebagai kakak laki – laki yang tidak pernah aku miliki. Ayah dan ibu juga sudah menganggap Lana sebagai bagian dari keluarga. Namun, entah sejak kapan aku mulai suka padanya. Mungkin benih – benih rasa sayang tersebut sudah ada semenjak aku duduk di bangku SMP, waktu dia menyampaikan orasinya sebagai calon ketua OSIS.

Maulana Tegar Saputra memang hanya lelaki biasa bagi sebagian orang namun tidak untukku. Dia merupakan segala sesuatu yang aku inginkan dari seorang lelaki. Tidak pernah sekali pun terbesit di benakku untuk meninggalkannya. Lana memang usil dan terkadang berubah menjadi orang yang super menyebalkan bila ia sedang menggodaku tapi entah mengapa justru hal – hal menyebalkan itulah yang membuatku semakin ‘jatuh’ padanya.

Sudah hampir tiga tahun ini kami berpacaran. Itu pun sebenarnya karena ketidaksengajaan. Jeremy, salah satu sahabat karib Lana semasa SMA, sengaja mengurung kami di gudang yang ada di belakang sekolah dengan harapan akan membuatku menangis karena ketakutanku terhadap gelap yang begitu besar. Aku memang hampir menangis ketika menyadari Jeremy mengunci pintu gudang dari luar namun Lana yang berada di dalam gudang bersamaku terus – terusan bercerita tentang kekonyolan teman – temannya. Ketika ia selesai bercerita, tiba – tiba saja aku sudah lupa bahwa kami sedang berada di dalam gudang.

Hal yang terjadi selanjutnya benar – benar mengejutkanku. Apa yang Lana utarakan padaku mungkin lebih mengejutkan daripada Ezra yang ternyata adalah ‘A’ di serial Pretty Little Liars. Aku sangat ingat kalimatnya waktu itu, “I’m deeply in love with you, my sweet little fairy. Sekian tahun aku menyimpan perasaan ini sendiri, menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. But watching you laugh with Jonathan earlier today..aku sadar, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Tidak, Gia. Tidak dengan banyaknya lelaki yang ingin menjadi kekasihmu. Gianna Lorenza Putri, would you like to be my girlfriend?”.

Banyak hal terjadi selama kami pacaran. Namun anehnya, hampir tidak ada orang yang terkejut dengan hubungan kami (save it from a very clueless Jeremy). Kata – kata seperti “akhirnya!”, “I saw that coming”, hingga  “bukankah kalian sudah lama berpacaran?” justru sering kami dengar dari orang – orang terdekat kami.

I didn’t mean to upset you. I was just telling you what’s gonna happen if we continue our relationship. Tidak banyak yang berhasil menjalani hubungan jarak jauh.” Lana menghela nafas panjang, tanda bahwa ia sudah mulai menyerah. “Aku sayang kamu, Gia. I feel like words can’t tell you how much I love you.”

Ingin rasanya aku memeluk Lana dan mengungkapkan betapa besar rasa sayangku untuknya, menceritakan padanya tentang bagaimana Harris, adikku satu – satunya, berhasil memenangkan lomba cerdas cermat yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kota Semarang. Namun aku tidak bisa melakukan semua itu. Tubuhku seakan membeku begitu saja. Lidahku kelu, tidak mampu merangkai kalimat untuk mengungkapkan kekesalanku.

Bukan ini yang aku harapkan ketika aku memberitahunya tentang beasiswa yang aku dapatkan dari sebuah yayasan. Apa yang terjadi sekarang justru berbanding seratus-delapan-puluh derajat dengan apa yang kubayangkan. Sudah lama aku ingin berkuliah di luar negeri dan berkat usahaku selama dua tahun terakhir ini, aku akhirnya mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Oxford, Inggris. Usahaku tersebut mungkin tidak akan ada artinya tanpa dukungan moral dari keluargaku dan Lana. Ia yang selalu ada di sampingku ketika aku terpuruk dan putus asa karena gagal mengikuti tes tahap kedua. Ia yang membuatku selalu berpegang teguh pada mimpiku, “as long as you can dream it, believe it, you gonna reach your dreams”. Tapi sekarang?

“Kamu sudah menginginkan hal ini sejak lama, Gia. Bahkan ketika aku masih gemar bermain playstation, kamu sudah bermimpi untuk bersekolah di luar negeri. Jangan sia – siakan kesempatanmu ini.”

“Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi padamu,” kataku jujur. “Begitu banyak pertanyaan di dalam kepalaku sekarang tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan semuanya.” Keheningan kembali mendatangi kami, seakan ia merasa bahagia bila di dekat kami dan tidak ingin pergi.

Lana memegang erat tanganku di atas meja. “Look at me for a second,” pintanya lembut. Dengan enggan aku menatap wajahnya yang menenangkan. “Aku bersedia melakukan apa saja demi kamu. Ingat waktu kamu marah dulu? Aku bela – belain pulang ke Semarang demi kamu, supaya tidak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan ini, semua ini aku lakukan semata – mata karena aku sayang kamu, peri kecilku. Aku tidak mau menjadi penghalangmu menggapai mimpi – mimpi besarmu, sebesar itulah rasa sayangku padamu.” Mata coklatnya seakan berbicara langsung kepada mataku. “Menurutku, cinta yang sebenarnya bukan berarti aku harus memiliki orang yang aku sayangi, justru aku harus merelakan orang tersebut bahagia meskipun tanpa ada aku di sampingnya.”

Café Stove Syndicate menjadi saksi bisu bagaimana aku harus melepas Lana, lelaki yang mengisi hidupku selama bertahun – tahun, untuk dapat mengejar mimpiku. Mimpi yang membuatku kehilangan sahabat terbaikku, teman curhatku, penasihatku. Suasana sendu di luar café juga seakan bersimpati melihat kenyataan pahit yang ada.

*****

Oxford, 26 Desember 2014

Aku tidak tahu sudah berapa lama kami melakukan videocall. Mungkin sudah lebih dari tiga jam sejak Lana pertama menghubungiku. Thank God, it’s holiday here, aku tidak perlu khawatir jika ada kuliah. Hampir semua orang sudah pulang ke kota atau bahkan ke negara mereka, menyisakan empat orang di dalam asrama termasuk aku.

“Eh, tunggu! 1, 2, 3, 4.. di sana jam tiga pagi kan?” Lana mengangguk sekali, seakan hal tersebut tidak mengganggunya sama sekali. “Wait, that means… Lana! Kita mulai ngobrol jam satu pagi! Aku berani bertaruh kamu pasti belum tidur.” Mataku melebar ketika menyadari hal ini.

Dia hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lebar. “Ayolah, Gia. Lagipula aku sudah terbiasa tidur pagi karena tugas – tugas dari semester pendek yang aku ambil.”

Is he insane? Aku tidak percaya sedikit pun terhadap kata – katanya. “You know, kamu tidak pernah bisa berbohong padaku. It’s like I have an alarm to tell me whenever you’re lying to me.”

Sudah hampir dua tahun semenjak Lana memutuskan hubungan kami di café yang ada di kota Semarang. Namun tak sekali pun ia mengingkari janjinya untuk tetap menghubungiku. Lana bahkan sekali waktu datang ke Inggris untuk menemuiku. It was a surprise visit. I didn’t even know he was coming until he asked me to pick him up. Tidak ada yang berbeda dalam hubungan kami kecuali kami tidak lagi berstatus pacaran.

It was tough at first tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa untuk menganggapnya sebagai sahabatku kembali meskipun aku masih menyayanginya lebih dari sekedar sahabat. Tidak hanya aku, Lana juga sering mengingatkanku betapa ia sangat menyayangiku. Rutinitasku sehari – hari selama di sini selalu melibatkan Lana, entah di jejaring sosial atau yang bersifat pribadi melalui e-mail.

Sometimes I hate it when you know me too well,” katanya sembari terkekeh. “By the way, kenapa kamu tidak pulang saja ke Indonesia? Liburanmu masih panjang. I miss you, Gia.”

I sighed in frustration. “Aku ingin sekali pulang tapi kondisinya benar – benar tidak memungkinkan. Saljunya sangat tebal di bandara, lagipula aku sedang menabung. Pulang sekarang hanya akan membuang uang secara percuma. I miss you too, Lana.”

Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa besar kerinduanku pada Lana. Caranya membuatku cemburu agar mendapat perhatian lebih dariku. Tawanya yang merdu. Senyumnya serta tatap matanya yang bisa membuatku tenang. Semua hal kecil tentangnya tidak pernah lepas dari ingatanku. Hal – hal tersebut masuk ke dalam memori jangka panjang yang ada di otakku.

Tidak ada lelaki lain yang mampu menaklukkan kerasnya hatiku selain Lana. Ryan, salah satu teman dekatku yang berasal dari Kanada, pernah berkata bahwa hatiku tidak ada bedanya dengan batu, sama – sama keras. Analogi yang dilontarkan Ryan memang tidak salah. Hatiku seperti batu yang keras namun rapuh perlahan bila terus terkena air hujan. Dan air hujan itu adalah Lana.

Pikiranku buyar ketika mendengar pintu kamarku diketuk. “Gia, are you coming with us?,” suara Charlotte terdengar pelan dari dalam kamar.

Yeah, I’ll meet you guys in ten minutes.” Setelah aku tidak lagi mendengar suara langkah kaki Charlotte, perhatianku langsung kembali pada layar laptop di depanku yang menampilkan wajah Lana sedang mengantuk. “Hey, aku ada janji mau keluar dengan teman – temanku malam ini. Kamu pasti lelah. Tidurlah, Lana. Aku akan menghubungimu lagi nanti.”

Dia menguap lebar sebelum akhirnya menyudahi sesi videocall kami.

*****

Oxford, 20 Januari 2015

How could you love someone who lives far away? I mean, you guys live in different continent,” tanya Alice ketika kami sedang menikmati makan siang di kantin.

Aku tersenyum kecil padanya. “We aren’t dating, Alice. We were, yes, but it ended before I went here.” She rolled her eyes. “He is everything I could’ve asked for. And even though we live in different continent, we still talking to each other about everything. Communication is the key, you know.

Baru saja Alice membuka mulutnya untuk menyanggah pendapatku, Greg yang merupakan pacar Charlotte sudah menyela. “But still you’re here in England meanwhile he’s in Indonesia. I can’t even think how am I gonna stay sane if I were you.

Kepalaku menggeleng pelan. Teman – temanku sepertinya tidak memahami perkataanku. Mereka masih berpikir aku setengah gila karena mencintai seseorang yang tinggal begitu jauh dari UK. Yah, well, aku bisa mengerti letak kebingungan mereka. I mean, what am I supposed to think if one of my friend still talking to her ex-boyfriend for two damn years? Jadi aku tidak benar – benar bisa menyalahkan mereka.

I don’t know, okay? How about we change the topic? Why do you guys so curious about my relationship anyway?

Because yours is much interesting than any of us. There are three guys who asked you to be their girlfriend and you just said no. Do we have to remind you how talented they are? I mean, Lucas is the president – ,” belum sempat Charlotte menyelesaikan deskripsi tentang lelaki – lelaki yang pernah menyatakan cinta padaku, bel tanda istirahat kami berbunyi nyaring. Charlotte mendengus kesal, “I swear we just went out like five minutes ago.”

*****

Semarang, 16 Juli 2015

Suara lembut Adele menyanyikan Skyfall mengalun merdu dari radio di dalam mobil yang sengaja aku hidupkan untuk menemaniku dalam perjalanan. Setelah menghabiskan dua tahun lebih di negeri orang tanpa pernah pulang, baru sekarang aku benar – benar mensyukuri matahari yang selalu bersinar terang di Indonesia.

Di Inggris, sangat jarang aku bisa keluar asrama tanpa harus menggunakan jaket tebal dan sarung tangan. Hal yang sangat amat merepotkan bagiku yang berasal dari negara beriklim tropis. Karena cuaca yang begitu dingin itulah aku lebih suka menghabiskan waktu senggangku di dalam asrama, entah bercanda bersama teman – teman, menonton film, atau hanya sekedar bermain laptop.

Sepuluh menit berikutnya, aku menemukan diriku sudah berada di depan rumah Lana. My mouth fell open. Apakah sebegitu besarnya rinduku pada lelaki ini sehingga tanpa sadar aku menyetir mobil milik ayahku ke rumahnya?

Baru saja aku memutuskan akan membunyikan bel rumahnya ketika secara tiba – tiba pintu rumah terbuka dan muncul Sarah, adik perempuan Lana.

“Kak Gia?”

Aku tersenyum kecil. “Hai, Sarah. Apa kabar?” Tanpa kusangka, Sarah langsung menyerangku dengan pelukannya. “Oh, well, kamu bertambah tinggi ya? Seingatku kamu masih setinggi ini waktu kita terakhir bertemu,” kataku sembari mengangkat tangan kananku setinggi dada. “Look at you now.”

“Masa iya aku mau berumur lima-belas tahun untuk selamanya? Aku bukan Peter Pan, Kak Giaaaa.” Mulut mungilnya maju sekitar satu atau dua senti, membuatku tertawa pelan. “By the way, kakak kelihatan makin cantik.”

I blushed a little. I’m not really used to this. Maksudku, aku benar – benar tidak terbiasa mendengar pujian dari orang lain. Semenjak aku duduk di bangku sekolah, aku lebih suka untuk duduk menyendiri di perpustakaan untuk menghabiskan waktu istirahat dibandingkan pergi ke kantin.

Not that I never did it.

Tentu saja aku pergi ke kantin meski tidak sesering anak – anak lain. It’s because I’m so incredibly insecure about my self, especially about my body. Aku tahu aku gemuk, aku sangat tahu hal tersebut. Namun ketika beberapa orang mengatakan hal tersebut ketika aku sedang berada di hadapan sekitar lima-puluh orang.. that’s what I’d like to call a humiliation. It hurts enough to think you would never fit into any community but to have someone said it directly to me… I found it hurts even more. It sure felt like I’ve just gotten countless slaps right to my face.

“Aku – uhm – thanks?” tanyaku tidak pasti.

Sarah tersenyum lebar dan memelukku sekali lagi, seakan – akan menunjukkan kepadaku ia benar – benar tulus dalam memujiku which I really grateful. “Kak Lana ada di dalam kamar. Masuk dulu aja, kak.”

In all honesty, I don’t really know why I chose to drive here in the first place. Aku rindu Lana? Pasti. Insting? Mungkin. Rasa sayangku yang masih begitu besar? I’m not so sure. Meskipun kami masih berhubungan selama aku di Inggris, aku selalu berpikiran bahwa Lana akan merasa bosan denganku.

“Gianna?” mata coklatnya membesar, menunjukkan keterkejutannya. “You never said anything about you coming home this month.”

“Um.. surprise?” tanyaku sebelum dia memelukku erat.

“Aku bisa menjemputmu di bandara dan mengantarmu ke rumah.” Aku hanya diam serta membalas pelukannya. Kehangatan seorang Lana, gosh. “Kapan kamu tiba di Semarang?” tanya Lana setelah kami duduk di ayunan kayu yang sengaja diletakkan di halaman belakang rumahnya.

“Baru dua hari yang lalu.” Jawabku jujur meskipun aku sudah merencanakan kepulanganku sejak tiga bulan yang lalu. “Rumahmu tidak banyak berubah.”

Keheningan menaungi kami untuk sejenak. Jika biasanya keheningan di antara kami adalah keheningan nyaman, kali ini ada sedikit rasa canggung yang menari di udara sekitar kami. Great. Baru kali pertama aku bertemu dengan Lana setelah sekian lama aku melanjutkan studiku dan ternyata sudah ada rasa canggung yang tumbuh.

“Yah, seperti itulah. Tidak seperti orang – orang di dalamnya.”

Kalimat Lana barusan terdengar… sedih, somehowI can hear he took a deep breathe several times. Seperti, ada sesuatu hal besar telah terjadi sejak terakhir kali aku main ke rumah ini dua tahun lalu. Bagaimana pun juga, ia tidak pernah sekali pun bercerita padaku.

“Jangan kaget jika ka–,” belum selesai ia berbicara ketika terdengar suara ribut – ribut dari dalam rumah yang diikuti dengan suara bantingan barang – barang yang terbuat dari kaca. Aku tidak tahu pasti siapa yang sedang bertengkar di dalam rumah tetapi aku bersumpah demi Tuhan, aku baru saja mendengar suara Tante Citra, mama Lana. “Maaf, Gia. Tidak seharusnya kamu disambut oleh pertunjukan sialan seperti ini.” Untuk beberapa saat, aku mengira Lana sudah selesai berbicara. “Bisakah aku mengajakmu ke tempat lain? I mean, ke café tempat kita biasa bertemu, mungkin?” Aku hanya menganggukkan kepalaku pelan.

Lima-belas-menit kemudian, kami sudah duduk di café House Of Coffee dengan suasana yang cukup canggung. Ada banyak pertanyaan menari di pikiranku. Pertanyaan – pertanyaan yang tidak bisa aku jawab sendiri. Hanya Lana yang bisa menjawab semuanya.

“Aku – uhm – can I ask you some questions?,” tanyaku pelan. Lana hanya mengangguk lemah sembari meminumhot chocolate miliknya. “What – maksudku, apa yang terjadi di rumahmu tadi?”

Lelaki di depanku menghela nafas panjang. “Rumit.”

OkayThat’s not an answer that I expected. “Oh. Aku– aku tidak mau memaksamu untuk bercerita semuanya. Aku cuma– I’m here, okay? Kapan pun kamu butuh teman bercerita, aku akan selalu ada.” Tangan kananku memegang tangan kirinya yang ada di atas meja, menunjukkan betapa aku masih peduli padanya.

Lana memandangku sambil tersenyum kecil. “Kira – kira setahun setelah kamu pergi, papa sering sekali pulang larut malam, bahkan pagi. Papa bilang dia ada kerjaan di kantor yang mengharuskan dia untuk lembur, which I actually believed. Tapi satu hari..” Matanya terpejam sebentar, seakan menggali ingatannya ke hari itu. “Papa pulang dalam keadaan mabuk berat dan tanpa sengaja menampar mama. Keesokan harinya, mereka bertengkar hebat. Mama menemukan foto wanita lain di dompet dan handphone papa.” Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar cerita Lana. “They have been fighting ever since. Dan– sepertinya niat mereka untuk cerai sudah terlalu bulat.”

I’m sorry.” Kataku tulus. Tangan kiri Lana yang tadinya berada di bawah meja kini berada di atas. Bersama dengan tangan kanannya, Lana menggenggam erat tanganku.

Don’t be. Bukan salahmu. Aku hanya berharap mereka dapat merubah keputusan itu.” Aku menganggukkan kepalaku perlahan. “Enough about meHow about you? Sudah dapat pacar baru?”

“A– aku– uhhh.” Perlahan – lahan, aku melepaskan genggaman tangannya. Mana mungkin aku memberitahu Lana jika aku masih cinta padanya? Itu pasti akan menjadi hal yang sangat memalukan. “Aku tidak bisa memaksa hatiku untuk menyayangi orang lain.”

Selama aku di Inggris, memang ada beberapa lelaki yang pernah menyatakan perasaan mereka padaku. Lucas, presiden kampus, a British guy with all his charm. Dengan nilai – nilai yang hampir sempurna, tubuh atletis, dan romantis. Semua wanita di kampusku tergila – gila padanya. Semua, termasuk mereka yang sudah memiliki pasangan. Kami sendiri sering bertemu karena kebetulan Lucas juga mengambil jurusan English Literature, sama sepertiku. Hampir delapan-puluh-persen waktuku di kelas, aku habiskan bersama Lucas yang hampir selalu ada di semua kelasku. Meski begitu, aku tidak bisa membalas perasaannya.

Augustus, an American guy. Orangnya manis, tubuhnya tinggi atletis, senyumnya menawan (I really have to admit that). Charlotte yang mengenalkanku pada Gus di semester pertamaku. Kami juga sering bertemu di kantin kampus ketika jam makan siang. Kesukaan kami pada buku – buku karangan J.K. Rowling juga membuat kami lebih ‘nyambung’, if you know what I mean. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa menyayangi Gus seperti aku menyayangi Lana.

Terakhir, ada Eric, vokalis band kampus. Eric memang tidak terlalu populer di kalangan mahasiswi kampus, tapi dia cukup dikenal di salah satu café local tempatku bekerja sebagai kasir. Kecintaannya pada Coldplay dan The Beatles-lah yang bisa membuat kami dekat. It was cheesyreally. Dari saling tidak mengenal, lunch bareng, hingga akhirnya kami bersama – sama pergi ke konser Coldplay di Birmingham. Namun hal tersebut seakan belum cukup. Aku masih tidak bisa membalas perasaan lelaki baik hati itu.

Di pikiranku hanya ada Lana, Lana, dan Lana. Lana yang suka sekali bermain playstation, Lana yang selalu memarahiku bila aku terlambat makan, Lana yang selalu bisa menenangkanku di saat – saat genting. It’s like everything in my life revolves him, whether I realize it or not.

Why?,” pertanyaan sederhana keluar dari mulut Lana. Aku hanya menundukkan kepalaku, takut ia bisa membaca semuanya dari mataku. “Gia, lihat aku.” Kepalaku menggeleng pelan. “Aku sayang kamu, peri kecilku. Koreksi, aku masih sayang kamu, Gianna.”

Perlahan, aku mengangkat wajahku untuk langsung berhadapan dengan wajah manis Lana. Mata coklatnya melihatku penasaran di keremangan cahaya. Ada senyum kecil menggantung di ujung bibirnya. God, apa yang telah aku lakukan sehingga aku bisa seberuntung ini?

“Aku juga sayang kamu. Itulah alasan kenapa aku belum memiliki pacar sampai sekarang.” Kataku jujur. “I just not sure if you like me that way..”

Tangannya meraih tanganku kembali. “What way?,” tanyanya kembali. Aku hanya terdiam di tempat dudukku, tidak berani menjawab pertanyaan tersebut. “Gia, kamu harus tahu satu hal dariku yang tidak akan pernah berubah terhadapmu; perasaanku. It will never changeeven if I, or you, wanted it to.”

“Aku– aku gak–,” kata – kataku dipotong oleh Lana.

“Dengarkan aku sebentar, Gia. Kepergianku menemuimu di Inggris waktu itu… sebenarnya aku ingin memberitahumu rahasia terbesarku. Rahasia yang sudah aku pendam selama dua-tahun ini. Aku memang bodoh, Gia. Dan salah satu kebodohan terbesarku adalah membiarkanmu pergi. Aku minta maaf. Would you mind giving me another chance? Maukah kamu mengulang semuanya kembali?”

He said it. Dua-tahun ini aku menunggu kata – kata itu keluar. Menunggu saat dimana akhirnya Lana menyadari betapa terikatnya kami.

“Selama aku di Inggris, aku tidak bisa jatuh cinta pada lelaki lain. Kamu brengsek, Lana. Dua tahun yang lalu, kamu melepasku untuk mengejar mimpiku. Tapi kamu sendiri tidak pernah bertanya apa mimpi terbesarku.” Air mata jatuh perlahan membahasi pipi chubby-ku. Siapa yang pernah mengira hari ketigaku di Indonesia, di kota kelahiranku, Semarang, aku akan mengungkapkan seluruh perasaanku pada lelaki yang amat kusayangi?

Lana termenung sesaat, mencerna kata – kata yang baru saja keluar dari mulutku. “What’s your biggest dream then?”

You, idiotYou are my biggest dream. And I would be stupid if I refused to accept your request. I love you, Lana.” Senyumku pecah seketika, hampir sebesar cengiran Lana.

I love you too, Gianna.”





Semarang, 21 Januari 2014
Teruntuk sahabat – sahabatku: aku rindu kalian semua.



A/N: gue mulai nulis ini sekitar dua bulan yang lalu, tapi dikarenakan banyak halangan rintangan (such as exams) cerpen ini baru bisa kelar sekarang. thanks buat yang udah baca, maaf kalo ada grammar yang salah :D I also posted this on my facebook :)

Sunday, January 19, 2014

A little poem

Oh hi, hello! Been a while since my last post. I'm sorry for that. I was so busy with my exam and such, but look at bright side; I'm on holiday now! Cheers for two-weeks-being-lazyass LOL

Alright, this time I'm gonna share my thought with y'all (not that I've never done that before..). But really, my life just turned upside down less than one-day. So, yeah, whatever.


I closed my eyes for a moment
with a hope you'll wake me
but it didn't happen

They told me that
loving someone isn't easy
Not as easy as you wear a hat
You'll see little things the other can't see

When I fell in love
for the very first time
I wasn't ready to feel, 
so.. heartbroken

And even after those times
I'll never be ready


That wasn't good, I know. I'm not that kind of person who decides to write a poem when shit happens. Nope, uh-oh. I'm kind of person who writes it in a story, I mean, maybe I'm not a good author like John Green or Harper Lee, but I'm trying.


Cheers,
Dina

Thursday, November 21, 2013

ABJCDDN ♥



 I'm so in love with them. They're like my rocks, my bestfriends. I love them nonetheless. Thank you. 
Albitra Jechafid Dinafis♥


Wednesday, November 20, 2013

Fanfictions

Hello to all of you!
I'm sorry I couldn't post any sooner than this. I was really busy nowadays and I can easily get tired just from my daily activities :(

I guess you guys have read my previous post? I should've sent that letter to him but well, I'm not that brave so, I won't. Plus, I don't want to disturb his happiness.

This is my secret I want to share with you; I love to read fanfictions (especially if it has One Direction boys in it). For some people, this probably sounds stupid but I'm personally get some advantages from reading those stories. They are perfectly written which is good because I can learn grammar and any other things. The other reason is that some sentences just fit with my life. If you were following me on twitter you must have known I often tweet something with ("), that means I'm quoting it. Whether from an article or just from a fanfiction. As long as it fits, I'd quote it. And now I'd like to tell you one of my favorite quote.

“When you love somebody, you have to let them go, and if they come back to you, they were meant to be yours... but if they don't, you were never meant to be.”

It's from a fanfiction entitled Warrior. I was too stunned when I first read it. Of course I heard or/and read it few times before this but when the writer of the story put it like that (which, of course, fits with the situation the main characters were in), it just, you know.. good.

I don't know the writer personally. Yeah, we've tweeted each other several times but I don't know how she could made my chest aching everytime the OCF (other character female) feels the pain. It was like we've been through the same thing. I felt her pain. Anyway, it is the sequel from another fanfiction and in the first book, the OCF've been betrayed. I know it just a story, yet I could feel what was she feel. The betrayal, I mean, it was so cruel, just like someone just betrayed me recently.

She trusted Harry just like I trusted him but then Harry betrayed her. It was so cruel like what he did to me (maybe not as cruel as Harry in the story but still cruel). The difference that Harry manages to come back to her life and makes her happy again while he is happy there with his girlfriend after ditched me. I don't even think he would say 'hi' if we accidentally met.. it's like I'm never exist in his life. And to be fucking honest, that hurts so much than any of you could've imagine.

It takes time to move on, to forget everything. But I'm working on it and reading those stories help me so much. Deep down inside of me, I know there are plenty girls who have more complicated love-life or maybe the same problem like me. And I know some of them are aching whenever reading stories similar to theirs. I'm not alone. So, don't you always blame fanfictions. It also has positive sides.


Cheers,
Dina

Tuesday, November 12, 2013

A letter

Holla!
How are you guys? Been two weeks since my last post. And I'm sorry for that. My exam weeks are coming up and I definitely need to study. But ey, I have some time to write right at this moment and I was thinking; why the hell not?

In all honesty, at first, I was actually didn't know what to write. I just done 2 of my exams which were two of difficult subjects in the first semester. But yeah, let just hope I can pass those two #armcrossed. And since I'm tired and still pretty upset about what's going on with my life recently, I'm just gonna write a letter for him-who-just-broke-my-heart.

Dear you,
Hi, it's almost a month since we last met.. or texting each other. So, how are you? I do believe you're super fine because you have a new girlfriend. Congratulation, by the way. I hope you two have a longlasting relationship :)

But the truth is, I have some questions I'd like to ask you. These questions were haunting me ever since you left me, alone.

Why did you do this to me?
Why did you make me hope for more?
What was your purpose to be that close to me last month?
Why did you leave me when I was slowly falling for you?
How do you manage to stay calm after what you did?

I thought you were different. I thought you really care about me! But no. You came out of nowhere then flew me high and all of sudden, you ran away. You weren't there when I fell. How could you do this to me?

Maybe if it wasn't you, I could understand. But this is you we are talking about. Out of all people, you decided to do this to me. You know what? I trusted you. I did, I really did. Not because you were kind to me, it was like you said "you can trust me" indirectly.. but now you're like "oh well, you're not really worth it, bye".

What am I supposed to do now?

I know I have to move on, I can't stuck here forever. But there's one thing you should know; every scar tells a story, no matter how little it is. The scar you've left me with.. it is still here. Not fully healed, but I'm sure it will be. You might think I'm pathetic because you don't know the truth.

Only my bestfriends know about me. They know exactly how I feel and they're always there for me. Well, if you ever think I'm gonna stuck here, you're awfully wrong. I have a life before you came and ruined it all, so don't you dare expect me to just sit here and crying all day.

Last but not least, I want to remind you; karma still exists.

Cheers,
Dina

So yeah, that letter pretty much tells you about what I feel right now. Although it's not as I expected but, well, the letter said it all, I guess. It's getting late here and I'm so sleepy.

Ciao!

Thursday, October 24, 2013

Broken

Hai!
Udah berapa lama gue nggak nulis? Lama banget kayaknya. Sorry, everytime I started to write something I always ended up delete it accidentally. My bad habit; never saved it first. My fault, I knowwwww, and sorry for that.

Jadi post kali ini sebagian besar udah gue tulis seminggu yang lalu, tapi entah karena alasan apa (gue sendiri juga lupa), gue gagal nyelesein ini seminggu yang lalu. But the truth is what happened a week ago, most likely happened today too. Dan lagi dikarenakan gue barusan pulang dengan keadaan capek yang amat sangat, lapar, dan galau, post kali ini ditulis pake bahasa Indonesia. Apa hubungannya? Ya lo pikir nulis postingan full-English gampang? Gue pribadi lebih sering kena writers block kalo nulis pake bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesia. Iya, gue emang anak sastra Inggris tapi bukan berarti tiap postingan harus pake bahasa Inggris (capek mikirnya juga, cuy). Gimana pun juga bahasa Indonesia masih bahasa ibu buat gue.

Hari ini rasanya perasaan gue abis dicampur-aduk. Abis pulang kuliah, gue bareng temen-temen (consist of Je, Bitra, Al, Chafid, and Dita) main ke kost AlBitra. Di kos, gue bisa ketawa-ketiwi sama anak-anak. Bahkan, gue meluk Dita waktu dia nangis (btw, hai Dit! If you read this, I love you so much. Don't ever think no one loves you because the truth is.. you're lovable. It seems impossible to be not in love with you). Iya bener, gue ikut nenangin sohib unyu gue yang satu ini.

P.s.: I wrote this part a week ago.

Sekitar jam 13.30, kita pergi ke kampus atas. Gue ada kumpul UKKI (semacam rohis kalo lo masih duduk di bangku SMA) yang dilanjutin latihan paduan suara. Awalnya, biasa aja. Terus gue iseng nanyain salah satu temen gue yang se-fakultas (sekelas juga!) sama gebetan gue. Kita panggil dia Jack yap.

Gue: eh, hla trus piye si dia-yang-tak-boleh-disebut-namanya-di-blog? Wingi bar ulangtahun to? Rak mbok jaluki traktiran? (Eh, itu gimana si -pip-? Kemarin abis ulangtahun kan? Kamu nggak minta traktiran?)
Jack: mosok? Rak ngerti aku. Tapi deknen wis duwe pacar. Yo mboh deng, wingi ning kelas dieceni terus. (Masa'? Aku nggak tau. Tapi dia udah punya pacar. Tapi nggak tau juga sih, kemarin di kelas diejekin terus.)
Gue: serius? Dieceni karo konco-konco sak kelasmu ngono? Emang pacare sopo? (Serius? Diejekin sama temen-temen sekelasmu gitu? Emang pacarnya siapa sih?)
Jack: he'eh. Tapi yo rak ngerti deng. Kae lho si -pip- sing sering dolan ning kelompoke dewe pas ospek, koncone -pip-. (Iya. Tapi nggak tau juga sih. Itu lho si -pip- yang sering main ke kelompok kita waktu ospek, temennya -pip-.)
Gue: oh, sing kui. (Oh, yang itu.)

Padahal gue nggak ngerti orangnya yang mana. Tapi yaudahlah ya. Intinya gue udah tau.

P.s.: I just wrote this part.

Hari ini hampir sama sih kayak seminggu yang lalu. Bedanya yah hari ini Rabu, sementara kejadian diatas itu hari Kamis minggu lalu.

Balik kuliah ke kost AlBitra (ketambahan temennya Dita, namanya Mega. If you read this, hello to you!). Ketawa lepas kayak biasanya. Daaaaann tibalah saatnya kegalauan dimulai. Gue meluk Dita buat yang kesekian kali (fyi, I'm a hugger. So I don't really mind if you hug me. And Dit, once again if you read this.. I love you. Karena terkadang cuma dengan menangis kamu bisa ngerasain lega) waktu dia nangis.

Padahal kalo boleh jujur, gue lagi sakit juga. Dia-yang-tak-boleh-disebut-namanya udah ngebuat gue berharap, ngeruntuhin tembok yang gue bikin sedemikian rupa tapi setelah tembok itu runtuh dan gue mulai jatuh.. dia malah lari. Gue nggak mau nyebut seseorang PHP (Pemberi Harapan Palsu) tapi kalo dipikir lagi, kayaknya emang sekarang waktu tepat buat bilang, “di-PHP tuh ternyata sakit banget ya.”

I mean, kalo emang dari awal dia nggak ada perasaan ke gue, ngapain ditanggepin? Kenapa ngebuat gue berharap kalo akhirnya dia malah pergi gitu aja tanpa kata perpisahan? Hahahaha sakit banget lho, nang.

Kemarin dia buat status di akun facebook-nya. Nggak usah gue tulis lah ya, intinya dia lagi kasmaran. Ditujuin buat siapa juga gue nggak tau. Kalo kata hati mah pengennya itu buat gue tapi kalo dipikir lagi, that's beyond impossible. Kenapa? Ya kan secara dulu kita SMSan aja setiap menit pasti dibales, interval SMS kita paling lama juga 5 menit. Nah sekarang 30 menit dibales juga udah alhamdulillahnya banget. Jadi yah, nggak mungkin banget lah kalo itu buat gue.

Trus lagi dia salah manggil. Detail? Nggak usah lah, doesn't matter how, yang jelas itu bikin gue tambah hopeless. Semalem gue nangis lagi pas mau tidur (sometimes crying doesn't mean you're weak, it means you've been so strong for way too long), nggak ngerti yang keberapa semenjak gue kenal sama dia. Marah? Nope. Sebel? Enggak. Sedih? A bit. Kecewa? Absolutely. Gue kecewa aja, tega banget dia giniin gue.

I'm broken but you can't see it. I can smile everyday, I'm good at comforting people. But I can't heal the scar you've left me with. It's still there. Lukanya masih mengeluarkan darah, nang. Harapan gue sekarang simple kok; semoga gue bisa lupain dia (it's a must! I can't be sad all the time, can I?). Oh iya, gue juga berharap supaya dia serius sama gebetannya itu. Maksudnya, nggak PHP doang. Biar gue aja yang ngerasain sakitnya ‘jatuh‘ :)

Be careful, nang. Karma still exists. I just don't want you to get karma too soon. Don't worry, I won't hate you, because I would never can hate you. Well, you might be the reason for my pain I still care about you, a lot. I also want to say sorry to you..

Sorry, I often disturbed you with my messages. Sorry for wasted your time. Sorry for hoping too much from you. And last, sorry, for loving you.

Dina

(P.s.: I wrote this post first on 24th Oct, 2013 but then saved it as a draft before continued to write and published this post on 30th Oct, 2013. Just fyi, I hope this post won't confuse you.)

Sunday, October 20, 2013

Don't leave me

Holla! Been a while since my last post (I told you about my lost, didn't I?). So, today I'd like to share one of my favorite song from a great female singer who's been my idol since I was in middle school, Demi Devonne Lovato.

For you who don't know her.. it's 2013! (Google it, please.)

So yeah, this song pretty much tells you about what I feel right at this moment, except the part 'kiss' (I don't have my first kiss yet, judge me). I don't want to give rants here in the beginning, so I decided to tell what's this song about in the end of this post, from my opinion, of course.

Demi Lovato - I hate you, don’t leave me

Hey, hey..
Yeah, Yeah..
I hate you, don’t leave me
I feel like, I can’t breathe
Just hold me

Don’t touch me

And I want you to love me
But I need you to trust me
Stay with me

Set me free

But I can’t back down
No I can’t deny that I’m staying now
‘Cause I can’t decide
Confused and scared I am terrified of you

I admit I’m in and out of my head
Don’t listen to a single word I’ve said
Just hear me out,
before you run away
‘Cause I can’t take this pain

I hate you don’t leave me
I hate you don’t leave me
Because I love when you kiss me
I’m pieces, you complete me

But I can’t back down
No I can’t deny that I’m staying now
‘Cause I can’t decide
Confused and scared I am terrified of you

I admit I’m in and out of my head
Don’t listen to a single word I’ve said
Just hear me out, before you run away
‘Cause I can’t take this pain
Noo

I’m addicted to the madness
I’m a daughter of the sadness
I’ve been here too many times before
Been abandoned and I’m scared now
I can’t handle another fall out
I am fragile
Just washed upon the shore

They forget me, don’t see me
When they love me, they leave me

I admit I’m in and out of my head
Don’t listen to a single word I’ve said
Just hear me out, before you run away
‘Cause I can’t take this pain
No I can’t take this pain

I hate you don’t leave me
I hate you please love me

(A/n: this is what I've been thinking lately. This song seriously fits into my situation.)

You came out of nowhere when I already had my walls. I needed three damn years to built it. Those walls, surely, I built that to protect me so I wouldn't fall and break. But with you... you slowly crushing my walls, you made me fall in love with you when actually, I shouldn't.

I was stupid to think you would be there to catch me when I fall. Every single guy I got closer with, they always ended up running away, let me fall and breaking my heart again. It just.. hurts. Like, I promised my self I won't fall again but then you came and acted like you care about me. My mom's been giving me an early warning this time.... sorry mom, I didn't listen to you.

I hate you, I really do. Because you make me fall for you, you make me miss you while you don't miss me at all, you with your smiles.. the way your face crinkles when you laugh, you with your soothing voice. Why? Why did you make me like this? Why did you make me fall for you if you wouldn't be there to catch me? Damn it. I know I was a fool (or maybe I still am), but that doesn't mean you could do that to me.

Excuse you, I'm a human too. I have feeling, mind you. When are you gonna realize; it is NOT okay to play with someone's heart?

Don't leave me. I know I'm an idiot, wished something that would never happen. But please, I like the way you laugh, I like how careful you are when you riding your motorcycle, I like how shy you get around seniors, I like how loyal you are to your friends. The thing is, I like you, I care about you. Don't you ever leave me. My fucked up brain make me told you some of my dark stories. I shouldn't do that and I really hope you won't remember those slipped stories from my mouth.

I've been abandoned soooo many times before and what's Demi says in the song is true; I'm scared. What if you left me without warning? Honestly, I'm tired. Tired of getting hurt again and again.

I hate you, but please, love me.