Monday
morning. Dua kata yang cukup menyebalkan bagi Jack ketika bangun tidur hari
ini. Dia benci Senin pagi, siang, sore, dan malam. Intinya dia benci hari
Senin. He groaned out loud when he
realized that Mr. Frederick, one of the most killer teacher, will be taking Mr.
Andrew's position today because he has family issues back in his hometown.
Sialnya lagi, Mr. Andrew mengajar matematika yang berarti ia harus bertemu Mr.
Frederick yang notabene guru pengganti selama dua jam penuh.
"Jack!
It's six already! Bangun dan segera
mandi atau aku tidak mau mengantarmu sekolah!" Suara Mrs. Harris terdengar
cukup keras dari kamar Jack— pertanda bahwa kesabaran ibunya sudah mulai habis.
"Kamu juga belum sarapan. Don't make
me go upstairs and throw water on your face. You hear me, young man?"
Sungguh
bukan awal yang baik. "Yeah, mom.
Aku dengar semuanya, oke? Tunggu lima belas menit lagi dan aku akan
turun," balasnya sembari berjalan menuju kamar mandi di dalam kamarnya.
Dua
puluh lima menit kemudian, Jack sudah duduk di dalam mobil ibunya. Mereka harus
mengantar adik perempuan Jack, Lucy, ke playgroup terlebih dahulu. Lagu Love Me
Tender milik Elvis Presley sedang mengalun pelan dari stasiun radio favorit
Mrs. Harris sementara Jack sedang sibuk dengan ponselnya.
"Mom, aku bakal pulang telat hari ini.
Ruthie dan Anthony mau mengajakku pergi." Jack berbicara ketika mereka
sudah menurunkan Lucy dan sedang dalam perjalanan menuju Hall Cross Academy,
sekolah lanjutan yang akan ia tinggalkan kurang dari setahun lagi.
Mrs.
Harris melayangkan pandangan sekilas ke anak sulungnya yang tidak mengalihkan
perhatiannya dari gadget. "Okay.
Don't do anything stupid."
He rolled his eyes, annoyed. Dia kan sudah enam belas tahun, masa iya ibunya harus selalu
mengingatkan hal itu setiap kali dia mau pergi main? But he just nodded his head before stepping out of the car.
Jack
tengah merapikan posisi dasinya ketika seseorang berjalan di sampingnya.
"Udah rapi kok," orang tersebut berkomentar sembari tersenyum kecil. He was startled at first, tapi ketika ia
tahu bahwa orang tersebut adalah salah satu sahabatnya, he smiled back before finishing his undone task.
Namanya
Grace Somerset, just like a county in
South-West England. Rambut coklatnya memanjang hingga ke punggung. Kacamata
dengan frame berwarna merah membingkai mata coklatnya yang menenangkan dan
selalu berbinar ketika ia tertarik pada hal-hal baru. She isn't popular but at least she has Jack and Joe as her bestfriends.
Menurutnya, mereka lebih dari cukup.
"So, my first period is maths, yang pasti
menyebalkan karena Mr. Andrew memilih Mr. Frederick sebagai pengganti
sementaranya. What's yours?"
tanya Jack.
"Oh, that sucks." She grimaced before continues, "aku
ada kelas Geografi di jam pertama."
"Tell me about it," katanya dengan
nada datar. "Kau sendirian? Tumben gak bareng Joe."
Grace
segera melirik Jack. "Dia menghubungiku pagi ini dan bilang kalo dia
sakit. He didn't tell you, did he?"
Jack menggelengkan kepalanya. Dia bahkan tidak tahu apa-apa. "Aku
berencana untuk menjenguknya nanti sepulang sekolah, kau mau ikut?"
Dia
ingin ikut. Apalagi Joe adalah sahabatnya semenjak mereka masih di TK. Tapi dia
sudah terlanjur janji dengan kakak-beradik Oakley. "Aku ada janji menemani
Ruthie dan Anthony ke mall hari ini. Mungkin aku bisa kesana sekitar jam tujuh,
I'm not so sure."
Jack
merasa seperti melihat kekecewaan di wajah Grace untuk sepersekian detik. Tapi
dia tidak terlalu yakin, perempuan yang telah menjadi temannya sejak primary school itu terlalu pintar
menyembunyikan perasaannya. Grace selalu bilang semuanya baik-baik saja padahal
ia sakit hati, something that Jack never
understands, kenapa tidak berkata jujur saja?
Mereka
memilih untuk diam sepanjang perjalanan mereka menuju kelas masing-masing
dengan pikiran yang berbeda. Jack memikirkan bagaimana caranya agar bisa
menjenguk Joe secepatnya sementara Grace sibuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa
seorang Jack Harris tidak akan pernah memiliki rasa sayang lebih untuknya.
Jarum
jam seakan berputar sepuluh kali lebih lama dari biasanya hari itu. Mata Grace
tidak bisa berhenti melihat jam di pergelangan tangan kirinya. Kelas Fisika
milik Miss Crawford yang biasanya menjadi kelas kesukaannya entah mengapa
terasa membosankan hari ini. Dengan absennya Joe maka semakin terasa pula
kecanggungan antara Jack dengan dirinya. Biasanya Joe akan membuat lelucon dan
menghibur dirinya apabila ia sedang badmood seperti ini, tapi Joe sedang sakit,
meninggalkannya menderita di hari Senin. She
sighed silently. Dia bertemu Jack waktu jam makan siang tadi, atau lebih
tepatnya Jack menghampirinya ketika ia makan siang. He said that he cancelled his plan with Oakleys so he will go to Joe's
house with her Tidak hanya itu, ia juga duduk di sebelah Grace selama makan
siang dan menemani mengambil buku Fisika di loker milik Grace yang terletak
tidak jauh dari lokernya.
Beberapa
menit kemudian, bel berbunyi nyaring. Jack dengan segera memasukkan bukunya ke
dalam tas dan segera mengirim pesan kepada Grace melalui ponselnya.
'Tunggu
aku di depan kelasmu lima menit lagi'
Ia
sudah akan keluar kelas ketika Mrs. Hastings memanggilnya. "Jack, can I talk to you for a minute?"
Mau tidak mau Jack menganggukkan kepalanya dan kembali menuju meja guru. "You're failing in my class. Aku suka
kau, nak. Kau adalah salah satu murid terbaikku tahun lalu. Jadi aku akan
memberikan tugas tambahan agar kau bisa menyusul yang lain. You don't mind, do you?" Ia hanya
menggeleng kepalanya pelan. Tentu saja ia ada di ambang kegagalan. Sudah
beberapa minggu ini ia tidak bisa belajar dengan tenang karena orangtuanya
selalu bertengkar. Meskipun Bahasa Inggris adalah salah satu pelajaran
favoritnya, ia tetap saja tidak bisa mengerjakan ulangan apabila ia tidak
belajar pada malam sebelumnya. "Buat essay tentang novel The Perks of
Being a Wallflower. Tulis pendapatmu tentang pengembangan karakter, setting,
alur, serta cerita daripada novel tersebut. Minimal dua lembar kertas.
Kumpulkan padaku hari Senin depan."
"I'll try my best, Mrs. Hastings."
Guru Bahasa Inggris yang memang terkenal ramah itu hanya tersenyum dan
mempersilahkan Jack untuk keluar kelas.
Grace
sudah menunggu selama hampir lima belas menit di depan kelas Fisika. Hampir
semua teman sekelasnya sudah keluar, membuat Grace semakin gelisah. Tidak
biasanya Jack begini, ia selalu tepat waktu. Baru saja ia akan mengetik pesan
di ponselnya ketika Jack berlari ke arahnya.
"Sorry to make you wait. Aku ada urusan
sebentar dengan Mrs. Hastings tadi. Shall
we go now?" nafasnya masih sedikit terengah-engah namun ia tidak mau
membuat perempuan cantik itu menunggu terlalu lama. Lagipula ia sudah tidak
sabar ingin bertemu Joe.
Rumah
Joe berada tidak begitu jauh dari sekolah. Mereka hanya perlu berjalan dua blok
untuk sampai kesana. Tujuh belas menit perjalanan, Grace menghitungnya secara
teliti, dan mereka hanya ngobrol sesekali. Terlalu canggung. Tapi dia hanya
diam sembari sesekali membenarkan letak kacamatanya. Mungkin memang ia harus
mulai membuka hati untuk lelaki lain— tapi siapa? Her mind is so full of Jack, she can't think of anybody else.
Jack
mengetuk pintu rumah Joe perlahan. Setelah beberapa ketukan, pintu terbuka dan
memunculkan Daniel, kakak laki-laki Joe yang sedang menyelesaikan studinya di
University of Manchester.
"Oh,
hey, kukira siapa. Masuk aja, Joe ada di kamarnya," sambut Daniel ramah.
"Thanks. I don't mean to be rude, tapi
bukankah kau seharusnya ada di Manchester?" Grace mencoba untuk bertanya
sesopan mungkin karena ia tidak mengerti mengapa Daniel ada di Doncaster di
bulan Januari.
Daniel
hanya tertawa. "Well, awalnya
aku berencana untuk pulang kemarin siang tapi karena mom dan dad pergi ke
Birmingham selama seminggu, aku memiliki tugas menjaga Joe yang sakit. Jadi aku
mengirimkan surat ijin selama beberapa hari sampai Joe sembuh." Kedua
sahabat adiknya ini lumayan dekat dengannya. Jadi dia tidak merasa canggung
untuk bercerita apapun pada mereka. "Do
you want a cuppa?"
Jack
segera menganggukkan kepalanya. "Tentu saja aku mau, teh buatan kau kan
lima kali lebih nikmat dari pada buatan Joe."
"Mate, I heard that," Joe yang
tiba-tiba sudah ada di tangga ikut berkomentar."That hurts." He fake
pouted.
Grace
tersenyum melihat ulahnya sebelum membantu Joe menuruni tangga. Wajahnya masih
pucat dan badannya terasa panas. Sudah jelas terlihat bahwa walaupun dengan
bantuan Grace, ia masih kepayahan menuruni anak tangga yang ada di rumahnya.
He doesn't look okay at all. Tapi ia tetap tersenyum dan mencoba membuat mereka tertawa. You can't possibly hate Joe Sharman, period.
Matanya yang berwarna biru bakal membiusmu seketika. Kau mungkin akan berpikir dia
orang normal karena warna matanya itu (which
makes him ten times more attractive by the way). Joe adalah definisi tepat
dari seorang prankster. Iseng, suka
sekali menjahili orang lain, bahkan gurunya sendiri. Mungkin itulah kenapa
Grace bisa menjadi sahabatnya, perempuan manis itu mengingatkannya untuk tetap
berperilaku normal, well.. normal
menurut definisi mereka.
"You look like shit, Joe," komentar
Jack setelah membantunya duduk di sofa.
Joe
tergelak mendengar komentar itu. "Thanks,
Jack. Senang kau masih bisa bercanda dengan kondisiku." But Jack didn't laugh. Dia mengatakan
yang sebenarnya. "Tenang saja, dokter bilang aku bisa berangkat sekolah
dua hari lagi. Flu perutku belum separah yang kalian pikir."
Jarum
jam menunjukkan pukul tujuh ketika Grace dan Jack memutuskan untuk pulang.
Daniel menawarkan untuk mengantar mereka, tapi mereka menolak dengan halus dan
memilih untuk berjalan kaki.
Jalan
raya di Doncaster berbeda dengan London yang selalu ramai. Jalanan cenderung
sepi ketika hari mulai gelap. Biasanya, Grace menyukai kesepian itu. Membuatnya
bisa berpikir selama perjalanan. Tapi dengan hadirnya Jack di sampingnya.. it's like a sin to think everything else
when you have Jack Harris walking beside you.
"It's January. Sebentar kita akan lulus
sekolah dan menghadiri pesta dansa." Jack
started to talk about school, leaving Grace to listen carefully to what he was
saying. "Our senior year will
end in less than a year, Grace. Where the bloody hell the time flies?"
"Kukira
hanya aku yang memikirkannya," Jack tersenyum. Ugh, that smile! Senyum manis yang selalu membuat perut Grace terasa
aneh, seperti jutaan kupu-kupu terbang. "Setelah itu kita hanya punya dua
tahun untuk menyelesaikan A-Levels sebelum akhirnya kita berpisah."
Wajahnya
menunduk ke bawah. "I'm kind of not
ready for that. Aku tidak mau berpisah dari kau dan Joe." Apa yang
dikatakannya itu adalah sebuah kejujuran. Salah satu dari sekian rahasia yang
disimpan oleh perempuan penyuka pizza itu berhasil membuat Jack terhenyak
sesaat. Ia tidak pernah berpikir bahwa seorang Grace Somerset merasa seperti
itu.
Jack
mendesah pelan, "I didn't know if
you feel that way. Bukankah kau sudah tidak sabar untuk keluar dari kota
kecil ini dan mengejar mimpi untuk berkuliah di Oxford?"
"Yah,
aku memang tidak sabar. Tapi meninggalkan kalian..," she didn't plan on telling Jack or Joe about her feelings. Dia
hanya tidak mau dianggap clingy.
"Kalian adalah sahabatku sejak lama. Dan jujur saja, aku tidak punya teman
lain selain kalian selama ini. Aku... aku takut untuk memulai semua dari awal
lagi."
Sepasang
mata hijau milik Jack menangkap rasa takut luar biasa ketika sahabatnya
itu mengungkapkan semuanya. "Hey, kau kan ramah. It won't be hard for you to make new friends. Aku malah takut kau
akan melupakanku dan Joe setelah kau mulai kuliah disana." Mungkin ini
bukan saat yang tepat untuk bercanda, tapi sungguh, ia tidak tega melihat Grace
begitu sedih. Untunglah Grace bisa sedikit tersenyum setelah mendengarnya.
"By the way, I'm failing English.
Jadi Mrs. Hastings memberiku tugas tambahan untuk membuat essay dari novel
karangan Chbosky. Would you help me? Please?"
Mata
coklat Grace berbinar lucu. "Kau gagal di kelas Mrs. Hastings? Aneh, kau
kan biasanya suka Bahasa Inggris." He
just shrugged. "How about next
Wednesday? Aku akan datang ke rumahmu. Make
sure you pick Lucy up because I miss her cute little cheeks." He grinned and nodded his head before saying
his goodbye to her right in front of her house.
***
Joe
dan Daniel masih menonton marathon Big Bang Theory di TV walaupun jam dinding
sudah menunjukkan pukul sembilan. Mereka sudah menghabiskan hampir seharian
untuk tidur sebelum Grace dan Jack datang, maka tidak aneh apabila wajah mereka
masih terlihat segar.
"Do you
think Jack and Grace will be a couple?" tanya Joe sambil mengunyah
makanan China yang baru saja diantar ke rumahnya.
Daniel
terlihat berpikir sebentar. "Mungkin. Tapi aku pikir itu tidak akan segera
terjadi."
"I know. Mereka seperti sama-sama buta,
tidak bisa melihat bahwa mereka sebenarnya saling suka. Gosh! You should see how awkward the air around you when it was just
those two sitting on the same table." Joe groaned in frustation. "Ingin sekali aku berteriak agar
mereka membuka mata mereka. Seriously,
Grace selalu melihat Jack seakan-akan ia adalah satu-satunya makhluk paling
menarik di dunia ini."
Kakak
kandung Joe hanya tertawa mendengar ceritanya. Jujur saja, semua orang awam juga
pasti bisa melihat bagaimana berbedanya cara mereka melihat satu sama lain.
Belum lagi ketegangan yang ada waktu ia membukakan pintu depan untuk mereka
tadi sore— kau bisa memotongnya dengan sebuah gunting, persis seperti pita
peresmian suatu gedung baru.
"Mungkin
kau harus lakukan sesuatu?" perkataannya keluar sebagai pertanyaan.
Joe
menatap kakaknya lama. "Nah, aku benar-benar tidak ingin ikut campur. I'll let them figure that out on their own.
Biar aku dan Emma menyaksikan dari belakang."
***
It took a little longer for Joe to back to school. Ia baru bisa berangkat ke sekolah pada hari Jum'at sementara Daniel
memutuskan untuk kembali ke Manchester pada Jum'at sore. As much as he loves being home, he already missed this week’s lessons.
Dan tentu saja hal itu membuat Joe harus sendirian di rumah karena orangtuanya
harus ada di Birmingham selama tiga hari ke depan.
"Bloody hell, Emily! Kau ada masalah apa
sih dengan Grace?! Kenapa kau membuatnya ketakutan seperti ini?!" Jack was shouting at this point. Ia baru
saja masuk kelas Biologi dan menemukan sahabatnya menangis di belakang kelas. For the love of God, ini masih pagi dan
ia sedang tidak ingin membentak orang. "I'll report you to the principal if you don't quit your bitchy attitude.
Don't try me, Em. Kau tahu jika aku
bisa dan akan melakukan itu." Gadis berambut pirang tersebut hanya
mengangkat bahunya sebelum meninggalkan mereka berdua. "Did she hurt you? Grace? Grace, kau dengar suaraku?"
Grace
hanya menggeleng lemah. "Kacamataku.. Jack, it— it's broken," katanya terbata. Matanya sendu melihat
kacamata dengan frame merah itu remuk— kacanya pecah dan framenya patah. "Dad bakal memarahiku."
Ingin
rasanya Jack meninju wajah Emily. Dia tidak punya hak untuk membuat Grace sedih
seperti ini. Dan kacamatanya! Semua orang juga tahu jika Grace hampir tidak
bisa melihat tanpa alat itu. "I will
explain it to your dad. In the meanwhile, why don't you go see the nurse?
Aku akan meminjami catatanku nanti. Oke?" Entah mengapa Jack merasa
hatinya seakan ditusuk oleh belati. Ia tidak pernah melihat Grace seperti ini..
begitu sedih dan kecewa. Jack lebih tidak mengerti akan perasaannya yang seakan
ingin menghapus kesedihan itu dari wajah Grace. Seeing her so vulnerable like this, somehow he just wants to protect
her. Gadis cantik seperti Grace tidak seharusnya menangis seperti ini.
"So, are you saying that Emily has been
torturing her?" tanya Joe saat mereka sedang dalam perjalanan pulang.
Jack
sudah menceritakan semuanya. Termasuk alasan kenapa mereka harus mampir ke
rumah Grace untuk menjelaskan perihal kacamata rusak kepada ayahnya. It wasn't a good experience, tapi
setidaknya Mr. Somerset tidak memarahi Grace.
Lain
halnya dengan Joe yang masih kebingungan akan cerita Jack. Menurutnya, Emily
adalah gadis baik-baik. He even sits with
her in Geometry class. Mana mungkin dia menyakiti Grace? Lagipula Grace itu
kan baik, kenapa ada yang mau melakukan hal seperti itu padanya? He doesn't quite understand what the hell is
going on.
"Aku
tidak tahu, oke? Yang aku tahu adalah dia berdiri di depan Grace yang sedang
menangis— menginjak kacamata satu-satunya milik Grace." Mereka sudah
sampai di rumah Jack. For some reasons,
Joe doesn't want to be alone in his house, so he simply just asked Jack if he
can stay over. "Mom? Dad? I'm
home." Tidak ada jawaban selain suara orang bertengkar dari dalam
kamar orangtuanya. "Sorry, Joe.
Cobalah untuk tidak menggubris suara mereka."
Clary
dan Finnegan Harris mungkin bukan salah satu contoh orangtua ideal. Tapi
bagaimanapun juga, mereka tetap orangtua Jack. Yang tidak dimengerti oleh anak
remaja itu adalah kenapa mereka harus memaksakan diri untuk bersama padahal
mereka tidak bisa akur? Tentu saja tidak ada yang suka tentang ide dari suatu
perceraian, namun sungguh Jack akan memilihnya bila itu berarti kedua
orangtuanya bisa bahagia.
Setelah
mengecek Lucy yang masih terlelap di kamarnya, ia segera menyusul Joe masuk ke
kamarnya sendiri. Mereka segera mengganti pakaian mereka sebelum bermain FIFA.
Joe tahu tentang masalah Jack. Ia juga tahu bahwa sahabatnya tidak mau
membicarakan tentang masalah keluarganya, so
he just kept his mouth shut.
"Hey,
Joe. Aku penasaran— tapi kau jangan tertawa." Jack memulai obrolan namun
tidak sekali pun ia mengalihkan fokus dari layar TV di depannya. Orang yang ia
panggil hanya mengeluarkan suara 'hm-mmhm'. "Kau sudah berpacaran dengan
Emma selama satu tahun. Aku— uhh, how did
you ask her out for the first time?"
Joe
menekan tombol pause di
controllernya. "Mate, are you in love
with a girl?"
"Hah?
Apa sih, aku kan cuma tanya. Kalau kau tidak mau jawab juga tidak
apa-apa," ia mencoba untuk mengalihkan topik. He really shouldn't have asked that.
But Joe was having none of it. He smirked. "Siapa? Kau bahkan tidak cerita padaku. Kukira aku
sahabatmu."
"Kau
memang sahabatku, Joe. You know what—
anggap saja aku tidak pernah menanyakan hal itu."
"Dan
membiarkanmu menyimpan rahasia sebesar ini? Hell,
no."
Oh,
God. Selamat datang di mode
aku-akan-terus-memberondong-pertanyaan-padamu milik Joe. Satu hal penting, dia
tidak akan berhenti menanyaimu sampai ia mendapat semua jawaban dari
pertanyaannya. It's kind of annoying,
really.
"Ada
seorang gadis— dia cantik, manis. Tapi dia selalu menutup diri dariku. Jujur
saja, I like her, Joe. I like her a lot. Aku hanya tidak yakin
jika dia juga menyukaiku."
"Deskripsikan
dia, Jack." Suaranya begitu memerintah.
"What? Aku gak akan mendeskripsikannya
untuk kau." Karena Joe pasti akan tahu bahwa ia mendeskripsikan Grace.
Joe rolled his eyes.
"Ajak dia pergi. It's simple."
"What, like a date?" tanya Jack
kembali.
Dan
untuk kesekian kalinya, Joe sangat ingin menghajar sahabatnya itu. Knocking some senses to him. "No, like a study group thing." Jack
hanya menatapnya tanpa berkedip. "Yes,
you moron! Ajak dia kencan! Astaga, kenapa aku bisa punya seorang idiot
macam kau untuk menjadi teman dekatku?"
***
Lagi-lagi
Jack harus berhadapan dengan hari Senin. Ia harus berangkat ke sekolah dan
bertemu Grace, gadis yang entah mengapa selalu berada di pikirannya selama
beberapa tahun belakangan. Dan setelah berdebat dirinya sendiri, Jack mulai
mengakui bahwa ia menyukai sahabatnya sendiri. And on the top of that, Joe sudah tahu bahwa ia sedang menyukai
seseorang.
Baru
saja ia turun dari mobil ibunya, ia mendengar namanya dipanggil. He didn't recognize her at first, tapi
semakin gadis itu mendekat, ia yakin bahwa itu Grace. Mata Jack tidak berkedip
ketika melihat penampilan baru seorang Grace Somerset. Ia tidak lagi mengenakan
kacamata, sepasang lensa kontak telah menggantikan fungsi kacamata lamanya.
Rambut coklatnya diberi warna pirang pada bagian bawah.
"Jack, mate, you're drooling." Joe,
yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya, berbisik pelan padanya.
Grace
tersenyum pada mereka berdua, membuat Jack harus menelan air ludahnya beberapa
kali. She looks even more beautiful
without her stupid glasses, it's unbelievable. "Kau— uhh— kau terlihat
berbeda."
She laughed lightly.
"Itu baik atau buruk?"
"Gracie, my darling. Jika kita lihat dari
ekspresi Jack, sepertinya 'berbeda' berarti baik," Joe tidak tahan untuk
tidak menggoda sahabatnya. Sepertinya ia benar-benar menikmati kecanggungan
Jack.
"Yeah, I mean, kau terlihat cantik."
She giggled at the awkward guy. "Terima kasih. How's your
essay?"
"It's done! Thanks to you. Mungkin memang aku tidak ditakdirkan untuk gagal di
kelas Mrs. Hastings," kelakar Jack.
Mereka
bertiga berjalan menuju kelas Geografi untuk mengantar Grace. Joe tidak
henti-hentinya berceloteh tentang rencananya untuk mengajak Emma makan malam. He is nervous and excited, but he also
terrified.
"Have you asked her out?" pertanyaan
Joe yang tiba-tiba sukses membuat Jack bingung dan Grace mengerutkan kening.
"Huh?
Aku— entahlah," jawab Jack sembari menggosok leher belakangnya.
"Kalian
bicara apa? I'm kinda lost.."
she admitted.
"Oh,
kau belum tahu? Sahabat kita yang satu ini-" Joe menepuk bahu Jack keras,
"he is in loveee."
She doesn't really remember when was the last time she
experienced a heartbreak but she was sure she just heard her heart cracked at
the second those words fallen out from Joe's mouth.
Tapi tentu saja ia tidak bisa memperlihatkan itu, bukan? Mereka bahkan tidak
tahu jika ia suka pada Jack lebih dari seorang sahabat. So she did what bestfriends should do.
"Really? Siapa? Kenapa kau tidak pernah
cerita padaku?"
For the love of God,
Jack ingin sekali menyumpal mulut Joe dengan kaos kaki bekas yang ada di pintu
kamarnya. Dia tiba-tiba menyesal sudah bercerita pada Joe kemarin.
"Uh—
bukan siapa-siapa. I mean, yeah, dia
dekat denganku tapi dia tidak terlalu dekat denganku untuk urusan pribadi. Kau
mengerti maksudku?" ingin rasanya ia berteriak bahwa Grace lah perempuan
yang ia maksud. Tapi dia juga tidak mau membuat persahabatan mereka hancur
hanya karena perasaan sukanya pada Grace. Di sisi lain ia juga tidak mau Grace
berpikir bahwa ia suka pada perempuan lain. "This is bloody confusing, okay?"
Grace
hanya tersenyum kecil sebelum akhirnya masuk ke kelas Geografi. Leaving Jack and Joe walking to Math class
together. "You like her, don't
you?" tanya Joe tanpa mengalihkan pandangannya dari lantai.
"Wh— who?" Jack stuttered.
"Emily,"
jawab Joe sekenanya. "Tentu saja Grace,
you dumbass." Muka Jack terlihat memerah dan gelagatnya berubah
gelisah. Bagaimana mungkin Joe bisa tahu? Jack ingat betul bahwa ia belum
pernah menyebut nama. "Ayolah, Jack. It's
kind of obvious. Mata kau seakan-akan berubah menjadi hati ketika
melihatnya. Dan reaksimu tadi pagi.. it
just confirmed my assumption."
"Damn."
Mark your calendar.
25 Januari 2014 adalah awal dari semua godaan-godaan verbal oleh seorang Joe
Sharman yang ditujukan kepada sahabatnya sejak TK, Jack Harris.
***
Hari-hari
terus bergulir, it's June already. And although Joe can't stop teasing Jack
about his crush, he survived it until the very last day of final examination.
Surely, Joe had made him blushed more than he can count in front of Grace.
Tetapi Jack masih bersyukur karena sahabatnya itu masih mengunci mulutnya
rapat-rapat.
"Jack!
Dude!! Emma baru saja mengiyakan
ajakanku ke pesta dansa!" Joe terlihat sangat bersemangat ketika
memberitahukan sahabatnya tentang berita tersebut.
Yep.
He asked his girlfriend to go to the
school dance with him. Pesta yang sangat dinanti-nantikan para senior itu
memang masih satu bulan lagi, namun sudah banyak lelaki yang mengajak para
wanita untuk pergi bersama. Cliché, but
of course it will flatter every girl in the world.
Namun
sayang hal itu tidak berlaku bagi Jack. He
is too afraid to even ask Grace out, let alone asking her to the school dance.
Tentu saja ia ingin mengajak gadis manis itu pergi tapi Grace yang sekarang
membuatnya malu. She is too pretty to go out
with Jack.
"Hey,
lihat arah jam sepuluh," kata Joe sembari menyenggol lengan sahabatnya.
Grace Somerset sedang berdiri di hadapan Marcus Bashforth yang notabene kapten
tim sepakbola mereka. And all of sudden,
he was already on his knees. “Bloody
hell, please tell me he isn’t asking her out!”
Jack sangat ingin berlari kesana dan menghancurkan rencana
apapun yang ada di pikiran lelaki yang sangat dibencinya itu. Grace tidak
pantas dengan seseorang seperti Marcus Bashforth. He is a self-centered wanker who doesn’t have a single care about Grace
like Jack does.
"Marcus, terima kasih atas
semuanya. I’m flattered, I really am,"
Grace menuntun Marcus untuk kembali berdiri. "Tapi sayang sekali aku
harus menolak tawaranmu."
Lelaki berambut pirang itu menatapnya tak percaya. Tidak pernah
sekali pun ia ditolak oleh seorang gadis dan sekarang seorang Grace Somerset
menolak ajakannya ke pesta dansa? What the hell is going on?
"Why? Ayolah Grace, kau cantik dan aku tampan. We definitely should go to the dance together as a couple!"
She was so
ready to throw up right here and then. His cockiness is so unattractive, did he
seriously think she would let him taking her to the dance with that? Tapi Grace terlalu sopan
untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya. "Because, Marcus, aku tidak akan pergi ke pesta dansa. Tapi aku yakin
ada banyak gadis yang benar-benar menunggu untuk diajak ke pesta olehmu."
Marcus kehilangan kata-kata. Di saat itulah Grace menyadari bahwa kedua
sahabatnya tengah berdiri beberapa meter darinya. She grinned and waving her hand at them, "I have go now. See you another time, Marcus."
"Hei, kupikir kau akan
pulang dengan Marcus?," pernyataan Joe justru keluar sebagai
sebuah pertanyaan. Grace just scoffed.
"What was he doing then? Aku yakin sekali dia
tidak pernah berlutut di hadapan seorang gadis seperti tadi."
"Dia mengajakku pergi ke
pesta dansa," jawab Grace dengan nada datar. "And before you say
anything, I said no."
Grace is pretty sure she just
heard Jack sighed in relief. “Good, because he is a
wanker who doesn’t deserve you.”
Grace mungkin akan tersedak apabila ia sedang minum atau makan.
Jack tidak mungkin mengatakan itu, kan? Tapi ia sangat yakin bahwa Jack baru
saja mengemukakan rasa khawatirnya.
"Oh! Bollocks. Who am I kidding. Grace, maukah kau pergi denganku ke
pesta dansa?" pertanyaan Jack berhasil membuat Joe
membelalakkan matanya. Then he saw his
surrounding. Mereka sedang ada di tengah-tengah halaman sekolah. Ia tidak
mungkin mengajak Grace ke pesta dansa sekarang, kan?
Jack ingin sekali meninju wajahnya sendiri. What kind of person asking a girl to the dance without anything in his
hand? Dia merasa seperti orang bodoh. Tapi dia juga merasa lega karena
sudah mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
Gadis itu diam seketika. Did
he seriously just ask her? She’s not dreaming, rite? Atau mungkin justru
ini semua hanya halusinasi? Dia sering berhalusinasi apabila berada di dekat
Jack. This is too good to be true.
"Grace, kau baik-baik saja?" Joe is looking at her with
concern.
"Aku— uh— what did you just say, Jack?"
Yang ada di pikiran Jack sekarang adalah it’s now or never. So he bent
down on his knees— making Grace widened her
eyes and Joe whistled in joy. "I don’t know what I’m doing probably eighty percent of time. Tapi aku yakin satu hal.
Grace Anne Somerset, I’ve been in love
with you for as long as I can remember." He breathed deeply before continues. Tanpa melihat sekitarnya, ia sangat yakin
bahwa aksinya ini telah mengundang perhatian hampir sebagian besar orang. "You are the most beautiful
girl I’ve ever known. Kau baik hati dan juga tidak pernah gagal membuatku tersenyum
meskipun aku sedang mengalami hari terburuk dalam hidupku. Jadi, aku akan
menanyakan hal ini. Will you give me the
honour to be you boyfriend and go to the dance with you?"
She was
speechless.
Grace benar-benar bingung mau mengatakan apa. Tapi ia baru saja mendengar
sahabatnya mengungkapkan perasaannya. Should
she say yes? Or maybe say no? Dia
baru saja menolak Marcus kurang dari dua puluh menit yang lalu!
Tapi Jack adalah adalah lelaki yang selama ini berada di pikiran— dan
hatinya, tentu saja. Jika dia menolak Jack.. Ya Tuhan, dia bahkan tidak berani
memikirkannya!
"I— Jack— aku—," she started to talk. Orang-orang mulai
bersiul dan berteriak, menyuruhnya untuk menerima Jack. "Kau
tahu aku tidak suka pesta dansa, kan?" Jack hanya mengangguk
lemah. Mungkin memang Grace tidak mau bersama dengannya. "Tapi
aku bersedia membuat pengecualian untukmu."
People
cheered loudly. Sementara Joe hanya tertawa dari belakang mereka dengan Emma
berdiri tepat di sampingnya. ‘What a
beautiful sight to see,’ he thought. Dia tahu bahwa kedua sahabatnya saling
menyukai satu sama lain tapi ia benar-benar tidak menyangka bahwa Jack
benar-benar akan mengajaknya berkencan.
Jack’s green
eyes blinked twice before asking, "Is that a
yes? Dan
kau belum menjawab pertanyaanku yang lain— wait, why are you crying? Fuck this, I’m so sorry—"
Grace just
had to laugh.
She was in tears but seeing Jack rambling
was too much to handle. Ia membantu Jack untuk berdiri dan menjawab dengan
penuh percaya diri. "Definitely
yes, for both."
You can see
happiness radiating through their bodies. Jack tidak bisa menyembunyikan senyumannya.
Gigi-gigi putihnya terlihat bersih, membuat Grace ikut tersenyum bahagia. “Can I kiss you? I know that you’ve never had
your first kiss and I just want—”
Tanpa diduga, Grace menciumnya lembut. Cara itu berhasil membuat
Jack berhenti mengoceh. "Sorry if
that was bad. Never had one before." She smiled sheepishly.
The crowd
cheered even louder than ever.
"We can work on that," kata Jack sebelum menciumnya kembali.
Joe menyentuh pipi Emma lembut sebelum akhirnya mencium gadis
berambut hitam itu. It surely was a good day for everyone.
"I’m glad I fell in love with my best friend.
You have no idea how beautiful your words were. And you make me feel happy. I love you, Jack William Harris."
Love always
works in misterious way. Kita tidak pernah tahu kapan cinta akan datang dan kapan ia
akan pergi. Akan ada saat dimana kita bersedia bertingkah seperti orang bodoh dan
mengesampingkan akal pikiran— namun ada pula saat dimana kita akan berpikir, ‘I’m so glad I fell in love’.
Ps: I wrote this fic a few years back but I hope this will do. I need to keep this blog alive :p