It's been a while. Gue kemarin sempet pengen nulis sih tapi trus keinginan itu musnah karena dapet tiket emas buat liburan ke rumah sodara di Majalengka.
Back to the topic.
Judulnya pake bahasa Indonesia loh. Kan jarang-jarang gue bikin postingan dengan judul bahasa Indonesia. Bukan karena gue gak bangga sama bahasa sendiri, tapi faktanya sendiri postingan gue lebih banyak yang baca kalo pake judul bahasa Inggris. Numbers can't lie.
Ada cerita di balik pemilihan sebuah judul semua tulisan gue. Dari cerpen, fanfiksi, artikel, sampe postingan di blog ini. Kebanyakan sih karena perjalanan hidup (gue merasa mulai tua btw) tapi ada juga yang murni karena faktor mood.
Jadi gini, I'm a book lover. People will notice that in the second I start talking about one. Gue emang suka baca buku dari jaman SD (atau MI buat gue). Awalnya karena suka baca majalah anak-anak yang tokoh utamanya kelinci. Pas di sekolah, gue lumayan sering pergi ke perpustakaan waktu istirahat dan lama-kelamaan mulai tertarik sama cover-cover lucu.
Waktu SMP, uang saku gue cuma seribu perak per hari. Iya, seribu. Itu aja udah bersyukur banget. Ibuk baru naikin uang saku pas gue udah kelas 9 dan sering pulang sore karena ada kelas tambahan sepulang sekolah. Karena harus berhemat, akhirnya gue jadi lebih sering pergi ke perpustakaan dan baca buku. Mbak penjaga perpustakaan hafal banget sama gue dan sering ngajakin gue ngegosip waktu keadaan sepi. Yang namanya kartu perpustakaan juga sampe harus ganti berulang kali karena udah penuh. Tapi liat sisi baiknya, gue mulai kenal novel Harry Potter dan yang paling penting, pengarang luar biasa, NH Dini.
Jaman SMA gue masih sering ke perpustakaan tapi intensitasnya emang gak sesering waktu gue SMP. Gue juga lebih suka baca majalah remaja daripada buku. Maklum, mulai puber. Disini gue mulai kenal seri Twilight dan The Hunger Games. Dan waktu kelas 12, gue jadi lebih sering ke tempat sakral ini sama temen-temen buat ngerjain tugas kelompok atau sekedar diskusi lucu-lucuan.
Waktu mulai kuliah, gue mulai familiar sama pengarang-pengarang terkenal dari luar negeri. Jane Austen, Rainbow Rowell, Cassandra Clare, Emily Bronte, John Green, Harper Lee, Veronica Roth, dan masih banyak lagi. Gue juga mulai berani baca naskah novel berbahasa Inggris yang belum diterjemahin. Modal nekat sih sebenernya. Yang ada di pikiran gue adalah; at least gue masih punya kamus. Gue juga lebih terbuka sama yang namanya buku elektronik karena gak punya uang buat beli wujud fisiknya.
The Fault in Our Stars-nya John Green menjadi novel berbahasa Inggris pertama yang selesai gue baca. Asli, gue nangis waktu di bagian Gus meninggal. Dari situlah gue jadi keranjingan baca English novel sampe sekarang.
Trus apa hubungan cerita gue diatas sama judul postingan gue kali ini?
Akhir-akhir ini gue baru sadar satu hal yang selalu gue lakukan sebelum baca sebuah buku, apapun jenis bukunya. Gue selalu nyempatin diri buat baca kata pengantar pengarang. It seems silly, doesn't it? Percaya atau gak, hampir 85% buku yang gue pernah baca, gue udah baca kata pengantarnya. Kebanyakan sih lebih manggil bagian ini sebagai tempat mereka mengucapkan terima kasih. Tapi gak sedikit juga yang membuat halaman kata pengantar mereka sebagai "jembatan" untuk mengawali cerita. For me, an author's thank you page or dedication page are important as much as the story. Dari situ, gue bisa sedikit banyak menilai kepribadian seseorang. Dan jujur aja, gue selalu suka bagian dimana mereka berterima kasih pada keluarga dan temen.
Mungkin buat banyak orang, kata pengantar itu gak penting. Cuma ngabisin halaman aja. Gak ada gunanya baca kata pengantar. Well, I have to disagree. Karena dari kata pengantar, kita bisa menilai kalo para penulis bener-bener punya passion di bidang penulisan. We can learn one thing or two from it. Makanya gue hampir selalu baca bagian yang sering disepelein sama orang lain ini.
Baru-baru ini gue selesai baca novel Sabtu Bersama Bapak-nya Kang Adhitya Mulya. Di kata pengantarnya, si akang ngaku kalo proses novel itu memakan waktu seumur hidupnya; dari mulai dia anak-anak sampe sekarang jadi bapak.
For my family
Penulis buku booming The Happiness Project menjadikan satu halaman untuk 3 kata singkat. Sederhana tapi jelas. Gretchen Rubin doesn't need a long paragraph to express her gratitude. Kenapa? Karena tanpa keluarganya, the book just simply wouldn't happen.
Kalo cover buku sering disamain kayak pakaian kita, nah buat gue, kata pengantar itu sedikit banyak kayak attitude kita waktu bertemu orang baru. Para penulis ingin mengenalkan sedikit tentang diri mereka dan orang-orang yang berjasa dalam pembuatan buku atau juga sekaligus di kehidupan pribadinya sendiri. Gak jauh beda sama kita kalo ketemu orang baru. Memperkenalkan diri pasti jadi hal utama. We don't want people to think bad about us. Hal yang sama juga berlaku untuk para penulis. Mereka kulanuwun dulu sama kita.
That's why I like reading kata pengantar. Bukan sebagai hiasan buku biar keliatan pantes tapi justru sebagai pelengkap.
Kisses,
Dee
No comments:
Post a Comment